SURABAYA – Saat ini bullying kerap menghantui dunia pendidikan. Bullying adalah pola kekerasan yang berulang dalam hubungan antar individu atau kelompok. Biasanya, ada pihak yang lebih kuat sebagai pelaku dan pihak yang lebih lemah sebagai korban. Dalam hal ini, bullying tidak hanya dapat menjadi luka bagi para korban, tetapi juga menjadi racun bagi para pelaku.
Untuk mengantisipasi bullying, Margaretha SPsi PGDip Psych MSc, ahli Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental UNAIR menyarankan agar ada peran aktif dari lingkungan sekitar, seperti teman, guru, atau orang tua. Lingkungan harus peka dan berani membantu korban, serta menghentikan tindakan perundungan.
“Jangan biarkan korban sendirian menghadapi bullying. Lingkungan harus bersikap tegas dan memberi sanksi kepada pelaku, ” ujarnya. Rabu (28/2/2024).
Selain itu, korban juga perlu mendapatkan dukungan psikologis agar lebih mampu menyatakan batas-batas secara sehat. Margaretha mengatakan, korban harus dilatih untuk bersikap asertif, yaitu berani menghadapi pelaku untuk menghentikan olok-olok atau ejekan secara efektif.
“Jika ada jokes yang menyinggung, korban harus membuat batasan pada diri sendiri, saya tidak mau diperlakukan seperti ini. Korban perlu berani bilang stop, saya nggak suka kamu ngomong kayak gitu. Atau korban berusaha merubah pemikirannya dalam menghadapi kata-kata negatif yang selama ini membuat tidak enak; misalkan bilang ke diri sendiri – kata-kata itu tidak akan melukai saya, saya akan lebih kuat. Atau ketika upaya asertif belum berhasil, korban juga perlu menentukan batasan tentang kapan dan kemana mencari bantuan.” jelasnya.
Tak hanya korban, bagi Margaretha pelaku bullying juga perlu diintervensi. Pasalnya, para pelaku bullying adalah individu yang tidak mampu menyelesaikan masalah secara sehat. Pelaku bullying perlu berlatih mengelola emosi solutif dan benar secara sosial. Misalnya, jika mereka tidak suka dengan perilaku seseorang, mereka bisa berbicara dengan sopan dan jujur, tanpa harus memukul atau menyakiti.
Pelaku bullying juga harus belajar empati, yaitu kemampuan menempatkan diri di posisi orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan. “Riset psikologi menemukan bahwa bullies sulit memahami dari perspektif orang lain sehingga sulit berempati. Pelaku cenderung melihat hanya dari cara pandangnya sendiri, dimana korban bullying dilihat sebagai orang lemah yang pantas diperlakukan buruk bukan simpati. Nah, intervensi psikologi akan melatih pelaku memahami posisi si korban, ” tutur Dosen Psikologi UNAIR itu.
Margaretha menegaskan bahwa setiap siswa di Indonesia berhak untuk belajar tanpa kekerasan dan merasa aman di sekolah. “Hal ini telah diatur dalam undang-undang, beberapa di antaranya Sekolah Ramah Anak dan Penghapusan Kekerasan. Jika ada siswa yang merasa tidak aman atau mengalami penindasan di sekolah, mereka berhak melapor dan menuntut hak mereka, ” tutupnya.
Penulis: Aidatul Fitriyah
Editor: Khefti Al Mawalia